Kamis, 20 Maret 2008

syaikh nawawi al bantani

Syaikh Nawawi al Bantani (1814-1897 M)] Nawawi bin Umar bin Araby masyhur disebut Syaikh Nawawi al Bantani. Kerabat dekat menyapa Syaikh Nawawi al Bantani dengan Abu Abdul Mu’ti. Silsilah Sang Syaikh Syaikh Nawawi al Bantani merupakan keturunan ke-12 dari Sunan Gunung Jati (Maulana Syarif Hidayatullaah). Silsilah Syaikh Nawawi al Bantani keturunan dari Maulana Hasanuddin (Sultan Banten I Sunya Raras Taj’ul ‘Arsy). Nasab Syaikh Nawawi al Bantani bersambung hingga Nabi Saw melalui Imam Ja’far ash Shadiq, Imam Muhammad al Baqir, Imam Zainal ‘Abidin, Sayyidina Husein, Sayyidatina Fatimah al Zahra. Ayahanda Syaikh Nawawi al Bantani adalah KH Umar bin Araby, ulama dan penghulu Tanara Banten. Nyai Zubaidah adalah shalihah yang melahirkan Syaikh Nawawi al Bantani. Mengaji Ilmu Sejak masa kanak Nawawi al Bantani kokoh memperoleh didikan ilmu dari ayahnya. Ayahnya sendiri yang mengajar Nawawi al Bantani ilmu nahwu, fiqh dan tafsir. Berkat bakat dan kecerdasan yang Allah karuniakan serta bimbingan ayahnya, Nawawi al Bantani telah hapal al Qur’an sejak masa anak. Ayahanda menyerahkan Nawawi al Bantani pada KH Sahal Banten dan KH Yusuf Purwakarta, ulama besar zaman itu, agar memberi pengajaran. Usia masih sangat belia, 15 tahun, Nawawi al Bantani berani menempuh perjalanan lintas benua. Nawawi al Bantani ke Mekkah untuk memperdalam ilmu. Usai berhaji Nawawi al Bantani lalu mukim di tanah suci. Selama tiga tahun di tanah suci tersebut Nawawi al Bantani ngaji ilmu pada Syaikh Ahmad Dimyati dan Syaikh Ahmad Zaini Dahlan, ulama masyhur di Masjidil Haram Mekkah. Di Madinah, Nawawi al Bantani ngaji ilmu pada Syekh Muhammad Khatib Hambali.
Syaikh Nawawi al Bantani (1814-1897 M)] Nawawi bin Umar bin Araby masyhur disebut Syaikh Nawawi al Bantani. Kerabat dekat menyapa Syaikh Nawawi al Bantani dengan Abu Abdul Mu’ti. Silsilah Sang Syaikh Syaikh Nawawi al Bantani merupakan keturunan ke-12 dari Sunan Gunung Jati (Maulana Syarif Hidayatullaah). Silsilah Syaikh Nawawi al Bantani keturunan dari Maulana Hasanuddin (Sultan Banten I Sunya Raras Taj’ul ‘Arsy). Nasab Syaikh Nawawi al Bantani bersambung hingga Nabi Saw melalui Imam Ja’far ash Shadiq, Imam Muhammad al Baqir, Imam Zainal ‘Abidin, Sayyidina Husein, Sayyidatina Fatimah al Zahra. Ayahanda Syaikh Nawawi al Bantani adalah KH Umar bin Araby, ulama dan penghulu Tanara Banten. Nyai Zubaidah adalah shalihah yang melahirkan Syaikh Nawawi al Bantani. Mengaji Ilmu Sejak masa kanak Nawawi al Bantani kokoh memperoleh didikan ilmu dari ayahnya. Ayahnya sendiri yang mengajar Nawawi al Bantani ilmu nahwu, fiqh dan tafsir. Berkat bakat dan kecerdasan yang Allah karuniakan serta bimbingan ayahnya, Nawawi al Bantani telah hapal al Qur’an sejak masa anak. Ayahanda menyerahkan Nawawi al Bantani pada KH Sahal Banten dan KH Yusuf Purwakarta, ulama besar zaman itu, agar memberi pengajaran. Usia masih sangat belia, 15 tahun, Nawawi al Bantani berani menempuh perjalanan lintas benua. Nawawi al Bantani ke Mekkah untuk memperdalam ilmu. Usai berhaji Nawawi al Bantani lalu mukim di tanah suci. Selama tiga tahun di tanah suci tersebut Nawawi al Bantani ngaji ilmu pada Syaikh Ahmad Dimyati dan Syaikh Ahmad Zaini Dahlan, ulama masyhur di Masjidil Haram Mekkah. Di Madinah, Nawawi al Bantani ngaji ilmu pada Syekh Muhammad Khatib Hambali. Tahun 1832 KH Nawawi al Bantani pulang ke tanah air. Usianya baru 18 tahun saat KH Nawawi al Bantani gantikan almarhum ayahanda mengasuh pesantren di Banten Banten dalam cengkeraman penjajahan Hindia-Belanda. Dan terhadap kolonialisasi itu KH Nawawi al Bantani tidak agresif dan tidak reaksioner. KH Nawawi al Bantani concern ke dunia ilmu, membimbing para murid dan menegakkan kebenaran dan agama Allah SWT dari pesantren. Namun pendirian KH Nawawi al Bantani teguh, sikapnya tidak kooperatif sama sekali terhadap kolonialis Hindia-Belanda. Concern KH Nawawi al Bantani pada ilmu jauh lebih menariknya hingga 3 tahun sesudahnya KH Nawawi al Bantani memutuskan hijrah ke Mekkah untuk menimba ilmu dengan ngaji. Mengaji Ilmu Lagi KH Nawawi al Bantani benar-benar hijrah menetap di Mekkah selama 30-an tahun. KH Nawawi al Bantani ngaji ilmu dan berguru kepada ulama-ulama besar: Syaikh Muhammad Khatib Sambas, Syaikh Abdul Ghani Bima, Syaikh Yusuf Sumulaweni serta Syaikh ‘Abdul Ghani Dagastani. Talenta cerdas dan ketekunan mengantarkan KH Nawawi al Bantani menjadi murid menonjol di lingkaran ilmu Masjidil Haram. Tatkala Imam Masjidil Haram Mekkah, Syaikh Muhammad Khatib Sambas yang juga guru KH Nawawi al Bantani, beranjak uzur beliau menunjuk KH Nawawi al Bantani menggantikannya menjadi Imam Masjidil Haram. Menjadi Syaikh Selain kini Imam Masjidil Haram Mekkah, KH Nawawi al Bantani juga mengajar ilmu dan halaqah (diskusi ilmiah) di Masjidil Haram. Sejak itu KH Nawawi al Bantani menyandang gelar Syaikh: Syaikh Nawawi al Jawi. Syaikh Nawawi al Bantani memberi pengajaran mulai jam 07.30 hingga jam 12.00. Ini dilaporkan Prof Snouck Hurgronye. Sarjana orientalis itu, tahun 1884-1885 menyisiri Mekkah untuk kepentingan pemerintah Hindia-Belanda juga menyelidiki aktivitas pengajaran Syaikh Nawawi al Bantani di Masjidil Haram. Meski jauh dari tanah air, aktivitas Syaikh Nawawi al Bantani di Mekkah terus diintai kolonialis Belanda. Dari berbagai belahan penjuru dunia para murid datang ke Masjidil Haram berguru ke Syaikh Nawawi al Bantani. Termasuk dari tanah airnya, Nusantara, para murid datang berguru kepada Syaikh Nawawi al Bantani di Masjidil Haram. Hingga para murid Syaikh Nawawi al Bantani itu menjadi ulama besar pula, seperti: KH Khalil Bangkalan Madura, KH Asy’ari Bawean Madura, KH Asnawi Kudus, KH Tubagus Bakri, KH Arsyad Thawil Banten, KH Hasyim Asy’ari Jombang, KH Dawud Perak Malaysia. Murid-murid Syaikh Nawawi al Bantani ini mendedikasikan hidup menjadi guru di pesantren salaf. Karenanya pantas bila Syaikh Nawawi al Bantani disebut guru besar (The Great Scholar) pesantren salaf. Menyandang Berbagai Gelar Gelar The Great Scholar layak disandang Syaikh Nawawi al Bantani. Penguasaan ilmu Syaikh Nawawi al Bantani sangatlah mendalam, multi-disiplin dan terbentang luas. Bentangan ilmu Syaikh Nawawi al Bantani meliputi tafsir Qur’an, hadist, tauhid, tarikh Nabi saw, fiqh, ilmu kalam, tasawuf, tata-bahasa Arab dan akhlaq. Syaikh Nawawi al Bantani termasuk ulama masyhur abad ke 14 H (19 M). Beliau, Syaikh Nawawi al Bantani dipredikati gelar pula A’yan ‘Ulama al Qarn al Ram ‘Asyar li al Hijrah. Juga, al Imam al Mullaqqiq wa al Fahhamah al Mudaqqiq. Negeri-negeri Arab Saudi, Mesir dan Suriah memahkotai Syaikh Nawawi al Bantani kehormatan gelar Sayyidul ‘Ulama al Hejaz, Mufti dan Faqih. Demikianlah, dengan pencapaian ilmu dan pancaran ketaqwaannya telah antarkan Syaikh Nawawi al Bantani ke pucuk-pucuk kemuliaan. Syaikh Nawawi al Bantani pun sering disejajarkan dengan kebesaran Imam Nawawi, tokoh ulama madzab Syafi’ie, penganggit kitab Syarah Shahih Muslim, Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, Riyadush Shalihin yang wafat tahun 676 H (1277 M). Syaikh Nawawi al Bantani lalu digelari sebagai Imam Nawawi Ke-dua. Pun, dijuluki Imam Nawawi Ke-dua, sebutan baginya tetap Syaikh Nawawi dan bukannya Imam Nawawi. Kitab-kitab Anggitan Syaikh Nawawi al Bantani sangat produktif menganggit kitab dengan bentangan luas. Di bidang tafsir: Tafsir Marah Labid atau Tafsir al Munir. Hadist: Tanqih al Qaul (“Meluruskan Pendapat”). Tawhid: Fath al Majid (“Pembuka Bagi yang Mulia”) dan Tijan ad Darari. Fiqh: Sullam al Munajjah, at Tausyih dan Nihayatuz Zin. Selain itu, Atsimar al Yaniah fi Ar Riyadlah al Badiah, Nuraz Sullam, al Futuhah al Madaniyyah, Salalim al Fudhala, Bidayah al Hidayah, al Ibriz al Daani, Bughyah al Awwam, Futuhush Shamad dan al ‘Aqdhlu Tsamin., ‘Uqudul Li Jain, Mirqatus Su’udit Tashdiq, Al-Ibriz Al-Daani, Bugyah Al-Awwam,, al-Aqdhu Tsamin, dan lain-lain. Kitab-kitab anggitan Syaikh Nawawi al Bantani di atas menjadi acuan pesantren salaf. Tidak saja pesantren salaf di Nusantara namun juga Malaysia, Filipina, Thailand dan negeri-negeri Timur Tengah hingga kini. Akhir Hayat Menganggit Kitab Kisaran waktu lima belas tahun sebelum wafat, Syaikh Nawawi al Bantani hampir-hampir tidak mengajar langsung murid-muridnya lagi. Syaikh Nawawi al Bantani sepanjang hari mencurahkan diri menganggit kitab sangat produktif. Sejarahwan mencatat, Syaikh Nawawi al Bantani telah membukukan kandungan ilmunya dalam 115 kitab. Dictionary of Arabic Printed Books karya Yusuf Alias Sarkis mencatat 34 judul kitab yang dianggit Syaikh Nawawi al Bantani. Pada tanggal 25 Syawal 1314 H (1879 M) di Syeib A’li, Syaikh Nawawi al Bantani menghembuskan nafas terakhir dengan usia 84 tahun. Syaikh Nawawi al Bantani dimakamkan di Ma’la, dekat makam istri Banginda Nabi saw, Ummul Mukminin Sayyidatina Khadijah al Kubra. Lama berselang tahun sesudah kewafatan, jasad Syaikh Nawawi al Bantani di Ma’la hendak dipindahkan agar liang lahat bisa dipakai jenazah lain (lazim terjadi di Ma’la), Saat petugas lapangan menggali liang lahat Syaikh Nawawi al Bantani serta-merta menghentikan pekerjaan. Jasad Syaikh Nawawi al Bantani dan kain kafan yang telah bertahun-tahun dikuburkan itu ternyata masih utuh dan segar. Wallaahu a’lam. By Bo ROFA

Kamis, 13 Maret 2008

KH Bisyri Syansuri

KH Bisri Syansuri Guru Agama dan Ahli Fikih

Ditulis oleh PMII KOMFAKSYAHUM di/pada Mei 21, 2007

Keterlibatannya dalam upaya dinamisasi NU terlihat jelas dari upayanya mendorong dan menopang berdirinya rumah-rumah yatim piatu di berbagai tempat.

Perkembangan Nahdlatul Ulama (NU) hingga mampu menjadi organisasi massa terbesar di Tanah Air tentu tidak bisa dilepaskan dari faktor sejarah maupun sepak terjang tokoh-tokohnya dalam membesarkan organisasi ini. Terlebih adalah kiprah para pendiri awal yang tanpa mengenal lelah akhirnya berhasil meletakkan dasar-dasar pergerakan organisasi ke depan.

Di antara tokoh yang dianggap berjasa adalah KH Bisri Syansuri. Tercatat dia turut terlibat dalam pembentukan NU pada tahun 1926 dan sejak awal menjadi anggota pengurus, walaupun bukan jabatan paling penting.

KH Bisri dilahirkan di Desa Tayu, Pati, Jawa Tengah, tanggal 18 September 1886. Ayahnya bernama Syansuri sementara ibunya bernama Mariah. Dia adalah anak ketiga dari lima bersaudara. Keluarga ini amat kuat dalam menjalankan ibadah.

Pendidikan awal diperolehnya di beberapa pesantren lokal. Saat itu, ketika menginjak usia tujuh tahun, Bisri mulai belajar agama, khususnya membaca Alquran di bawah bimbingan KH.Saleh. Kegiatan ini dijalani selama lebih kurang dua tahun.

Setelah itu, Bisri melanjutkan pendidikan di pesantren asuhan seorang ulama yang tercatat masih keluarga dekatnya, yakni KH Abdul Salam. Pesantren itu terletak di desa Kajen, sekitar delapan kilometer dari Tayu. Di sana, dia mempelajari dasar-dasar tata bahasa Arab, fikih dan tafsir Alquran serta hadis.

KH Abdul Salam menerapkan pola kehidupan beragama yang keras aturan-aturannya dan berjalur tunggal moralitasnya. Sifat berpegang pada aturan agama secara tuntas di kemudian hari akan menjadi salah satu ciri kepribadian Bisri.

Dia berpindah pesantren lagi pada usia 15 tahun. Kali ini yang dituju adalah pesantren di Demangan, Bangkalan, asuhan KH Kholil, seorang ulama besar yang menjadi guru dari hampir semua kyai yang terpandang di seluruh Jawa waktu itu. Nah saat nyantri di Demangan itulah Bisri bertemu dengan seorang santri dari Jombang yang kemudian menjadi teman karibnya yakni Abdul Wahab Hasbullah.

Ketika itu amatlah kuat tradisi ’santri keliling’ menuntut ilmu di beberapa pesantren. Begitu pula yang dilakukan oleh Bisri serta Abdul Wahab Hasbullah. Setelah beberapa lama belajar dengan KH Kholil, keduanya memutuskan melanjutkan menuntut ilmu di tempat lain, yakni di Pesantren Tebuireng, Jombang, pimpinan KH Hasyim Asy’ari.

Hal itu terjadi tahun 1906. Mereka berdua begitu mengagumi reputasi ulama pimpinan ponpes tersebut. KH Hasyim Asy’ari disegani karena kedalaman ilmu-ilmu agamanya, dan karenanya mendapat gelar Hadratus Syaikh. Keputusan untuk pindah pendidikan ke pesantren Tebuireng ternyata penting artinya bagi Bisri Syansuri.

Bisri Syansuri berada di Tebuireng selama enam tahun. Sejak masa itu, makin bertambahlah kawan sependidikan yang akan menjunjung nama guru mereka. Di antaranta Abdul Manaf dari Kediri, As’ad dari Situbondo, Ahmad Baidhawi dari Banyumas, Abdul Karim dari Sedayu (Gresik), Nahrawi dari Malang, Abbas dari Jember, Ma’sum Ali dari pesantren Maskumambang di Sedayu dan banyak lagi.

Mereka lantas membentuk barisan peminat fikih dan penganut hukum agama yang tangguh, serta menjadi kiai-kiai pesantren terkemuka di pulau Jawa. Angkatan santri ini seperti dikatakan alm KH Syukri Ghazali adalah generasi paling baik dari mereka yang dididik Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari di pesantren Tebuireng selama hampir setengah abad.

Selama di Tebuireng, Bisri mendapat ijazah dari gurunya untuk mengajarkan kitab-kitab agama yang terkenal dalam literatur lama, dari teks fikih Al-Zubad (yang kemudian akan menjadi kegemarannya) hingga ke hadis yang menjadi spesialisasi KH Hasyim Asy’ari, Bukhari, dan Muslim.

Ketika itu sudah terlihat corak penguasaan ilmu-ilmu agama Bisri yang akan membuatnya terkenal di kemudian hari: pendalaman pokok-pokok pengambilan hukum agama dalam fikih, tanpa terlalu banyak variasi tambahan pengetahuan baru yang bermacam-macam.

Setelah menyelesaikan pendidikan di Tebuireng, tahun 1912-13 Bisri berangkat ke Makah, bersama Abdul Wahab Hasbullah. Keduanya kemudian belajar pada sejumlah ulama terkemuka di Tanah Suci, semisal Syekh Muhammad Baqir, Syekh Muhammad Sa’id Yamani, Syekh Ibrahim Madani, dan Syekh Jamal Maliki. Juga pada guru-guru dari ’sang guru’ Kiai Hasyim Asy’ari, seperti Kiai Ahmad Khatib Padang, Syu’aib Daghistani dan Kiai Mahfuz Termas.

Ketika berada di Mekkah, dia menikahi adik perempuan KH Wahab. Datangnya Perang Dunia I membuatnya harus meninggalkan Makah tahun 1914, lebih cepat dari perkiraannya semula.

Sepulangnya dari Tanah Suci, dia menetap di pesantren mertuanya di Tambak Beras, Jombang. Di sana, Bisri tinggal selama dua tahun, membantu mertuanya di bidang pendidikan dan pertanian. Periode itu tercatat merupakan masa terakhir persiapannya untuk menjadi kiai yang berdiri sendiri. Hingga pada 1917 dia mendirikan pesantren sendiri di Denanyar.

Bersama sejumlah kiai muda setempat, seperti KH Dahlan Kebondalem dan KH Ridwan, mereka membentuk klub kajian yang diberi nama Taswirul Afkar (konseptualisasi pemikiran). Dari sini kemudian lahirlah sebuah sekolah agama dengan nama yang sama, yaitu Madrasah Taswirul Afkar.

Hal lain yang berkembang adalah munculnya KH Bisri dan KH Abdul Wahab sebagai peserta aktif dalam musyawarah hukum agama yang berlangsung di lingkungan Nahdlatul Ulama.

Pada periode itu, terjadi dua perkembangan penting di NU, yaitu konsolidasi kegiatan organisasi dan perumusan sikap organisasi bagi masalah kemasyarakatan dalam lingkungan NU. KH Bisri terlibat aktif dalam proses konsolidasi kegiatan organisasi terbukti dari kiprahnya saat mengembangkan kegiatan lailatul ijtima’, sebuah forum keagamaan untuk mengingat jasa mereka yang telah berpulang ke rahmatullah.

Keterlibatan KH Bisri dalam upaya dinamisasi organisasi tampak jelas dari upayanya mendorong dan menopang berdirinya rumah-rumah yatim piatu di berbagai tempat, termasuk di Jombang sendiri. Juga dalam dukungannya kepada upaya pelayanan kesehatan yang dirintis di berbagai tempat.

Pada masa penjajahan Jepang, ulama ini terlibat dalam pertahanan negara, yakni menjadi Kepala Staf Markas Oelama Djawa Timur (MODT), yang berkedudukan di Waru dekat Surabaya. Kemudian pada periode kemerdekaan KH Bisri pun terlibat dalam lembaga pemerintahan.

Dimulai dengan keanggotaan dalam Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), mewakili unsur Masjumi (tempat Nahdlatul Ulama tergabung secara politis). Berlanjut dengan keanggotaan di Dewan Konstituante tahun 1956, hingga ke masa pemilihan umum tahun 1971. Saat itu dia terpilih menjadi anggota DPR hingga tahun 1980.

Pascaperistiwa G 30 S/PKI tahun 1965, KH Bisri kerap harus meninggalkan Jombang untuk turut dalam pengambilan keputusan di lingkungan NU mengenai masalah-masalah nasional. Setelah wafatnya KH Abdul Wahab tahun 1972, KH Bisri pun diangkat sebagai ra’is ‘am.

Ketika NU bergabung ke PPP, KH Bisri juga menjadi ketua Majelis Syuro partai ini. Pendirian prinsipil NU dalam sejumlah perbenturan dengan pemerintah selama tahun 1970-an biasanya dikaitkan dengan kepemimpinan KH Bisri. Ulama kharismatik ini meninggal dunia dalam usia lanjut tahun 1980.

Rabu, 12 Maret 2008

Syaikh KH Musytafa Bisyri profile

KH Achmad Mustofa Bisri
Lahir : Rembang, 10 Agustus 1944
Agama : Islam
Jabatan: Pimpinan Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah

Istri: Siti Fatimah
Anak:
1. Ienas Tsuroiya
2. Kautsar Uzmut
3. Randloh Quds
4. Rabitul Bisriyah
5. Nada
6. Almas
7. Muhammad Bisri Mustofa
Ayah: Mustofa Bisri
Ibu: Marafah Cholil

Pendidikan :
- Pondok Pesantren Lirboyo Kediri
- Al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta
- Raudlatuh Tholibin, Rembang
- Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir

Karya Tulis Buku:
- Dasar-dasar Islam (terjemahan, Abdillah Putra Kendal, 1401 H);
- Ensklopedi Ijma’ (terjemahan bersama KH. M.A. Sahal Mahfudh, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1987);
- Nyamuk-Nyamuk Perkasa dan Awas, Manusia (gubahan cerita anak-anak, Gaya Favorit Press Jakarta, 1979);
- Kimiya-us Sa’aadah (terjemahan bahasa Jawa, Assegaf Surabaya);
- Syair Asmaul Husna (bahasa Jawa, Penerbit Al-Huda Temanggung);
- Ohoi, Kumpulan Puisi Balsem (Pustaka Firdaus, Jakarta, 1991,1994);
- Tadarus, Antalogi Puisi (Prima Pustaka Yogya, 1993);
- Mutiara-Mutiara Benjol (Lembaga Studi Filsafat Islam Yogya, 1994);
- Rubaiyat Angin dan Rumput (Majalah Humor dan PT. Matra Media, Cetakan II, Jakarta, 1995);
- Pahlawan dan Tikus (kumpulan puisi, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1996);
- Mahakiai Hasyim Asy’ari (terjemahan, Kurnia Kalam Semesta Yogya, 1996);
- Metode Tasawuf Al-Ghazali (tejemahan dan komentar, Pelita Dunia Surabaya, 1996);
- Saleh Ritual Saleh Sosial (Mizan, Bandung, Cetakan II, September 1995);
- Pesan Islam Sehari-hari (Risalah Gusti, Surabaya, 1997);
- Al-Muna (Syair Asmaul Husna, Bahasa Jawa, Yayasan Pendidikan Al-Ibriz, Rembang, 1997);
- Fikih Keseharian (Yayasan Pendidikan Al-Ibriz, Rembang, bersama Penerbit Al-Miftah, Surabaya, Juli 1997)

Organisasi:
Mantan Rois Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) periode 1994-1999 dan 1999-2004

Sang Kiyai Pembelajar

Kiyai, penyair, novelis, pelukis, budayawan dan cendekiawan muslim, ini telah memberi warna baru pada peta perjalanan kehidupan sosial dan politik para ulama. Ia kiyai yang bersahaja, bukan kiyai yang ambisius. Ia kiyai pembelajar bagi para ulama dan umat. Pengasuh Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah, ini enggan (menolak) dicalonkan menjadi Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama dalam Muktamar NU ke-31 28/11-2/12-2004 di Boyolali, Jawa Tengah.

KH Achmad Mustofa Bisri, akrab dipanggil Gus Mus, ini mempunyai prinsip harus bisa mengukur diri. Setiap hendak memasuki lembaga apapun, ia selalu terlebih dahulu mengukur diri. Itulah yang dilakoninya ketika Gus Dur mencalonkannya dalam pemilihan Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama pada Muktamar NU ke-31 itu.

Saya harus bisa mengukur diri sendiri. Mungkin lebih baik saya tetap berada di luar, memberikan masukan dan kritikan dengan cara saya, jelas alumnus Al Azhar University, Kairo (Mesir), ini, yang ketika kuliah mempunyai hobi main sepakbola dan bulutangkis. Setelah tak lagi punya waktu meneruskan hobi lamanya, ulama ini lalu menekuni hobi membaca buku sastra dan budaya, menulis dan memasak, termasuk masak makanan Arab dengan bumbu tambahan.

Lahir di Rembang, Jawa Tengah, 10 Agustus 1944, dari keluarga santri. Kakeknya, Kyai Mustofa Bisri adalah seorang ulama. Demikian pula ayahnya, KH Bisri Mustofa, yang tahun 1941 mendirikan Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin, adalah seorang ulama karismatik termasyur.

Ia dididik orangtuanya dengan keras apalagi jika menyangkut prinsip-prinsip agama. Namun, pendidikan dasar dan menengahnya terbilang kacau. Setamat sekolah dasar tahun 1956, ia melanjut ke sekolah tsanawiyah. Baru setahun di tsanawiyah, ia keluar, lalu masuk Pesantren Lirboyo, Kediri selama dua tahun. Kemudian pindah lagi ke Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Di Yogyakarta, ia diasuh oleh KH Ali Maksum selama hampur tiga tahun. Ia lalu kembali ke Rembang untuk mengaji langsung diasuh ayahnya.

KH Ali Maksum dan ayahnya KH Bisri Mustofa adalah guru yang paling banyak mempengaruhi perjalanan hidupnya. Kedua kiyai itu memberikan kebebasan kepada para santri untuk mengembangkan bakat seni.

Kemudian tahun 1964, dia dikirim ke Kairo, Mesir, belajar di Universitas Al-Azhar, mengambil jurusan studi keislaman dan bahasa Arab, hingga tamat tahun 1970. Ia satu angkatan dengan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Menikah dengan Siti Fatimah, ia dikaruniai tujuh orang anak, enam di antaranya perempuan. Anak lelaki satu-satunya adalah si bungsu Mochamad Bisri Mustofa, yang lebih memilih tinggal di Madura dan menjadi santri di sana. Kakek dari empat cucu ini sehari-hari tinggal di lingkungan pondok hanya bersama istri dan anak keenamnya Almas.

Setelah abangnya KH Cholil Bisri meninggal dunia, ia sendiri memimpin dan mengasuh Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin, didampingi putra Cholil Bisri. Pondok yang terletak di Desa Leteh, Kecamatan Rembang Kota, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, 115 kilometer arah timur Kota Semarang, itu sudah berdiri sejak tahun 1941.

Keluarga Mustofa Bisri menempati sebuah rumah kuno wakaf yang tampak sederhana tapi asri, terletak di kawasan pondok. Ia biasa menerima tamu di ruang seluas 5 x 12 meter berkarpet hijau dan berisi satu set kursi tamu rotan yang usang dan sofa cokelat. Ruangan tamu ini sering pula menjadi tempat mengajar santrinya.

Pintu ruang depan rumah terbuka selama 24 jam bagi siapa saja. Para tamu yang datang ke rumah lewat tengah malam bisa langsung tidur-tiduran di karpet, tanpa harus membangunkan penghuninya. Dan bila subuh tiba, keluarga Gus Mus akan menyapa mereka dengan ramah. Sebagai rumah wakaf, Gus Mus yang rambutnya sudah memutih berprinsip, siapapun boleh tinggal di situ.

Di luar kegiatan rutin sebagai ulama, dia juga seorang budayawan, pelukis dan penulis. Dia telah menulis belasan buku fiksi dan nonfiksi. Justru melalui karya budayanyalah, Gus Mus sering kali menunjukkan sikap kritisnya terhadap budaya yang berkembang dalam masyarakat. Tahun 2003, misalnya, ketika goyang ngebor pedangdut Inul Daratista menimbulkan pro dan kontra dalam masyarakat, Gus Mus justru memamerkan lukisannya yang berjudul Berdzikir Bersama Inul. Begitulah cara Gus Mus mendorong perbaikan budaya yang berkembang saat itu.

Bakat lukis Gus Mus terasah sejak masa remaja, saat mondok di Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Ia sering keluyuran ke rumah-rumah pelukis. Salah satunya bertandang ke rumah sang maestro seni lukis Indonesia, Affandi. Ia seringkali menyaksikan langsung bagaimana Affandi melukis. Sehingga setiap kali ada waktu luang, dalam bantinnya sering muncul dorongan menggambar. Saya ambil spidol, pena, atau cat air untuk corat-coret. Tapi kumat-kumatan, kadang-kadang, dan tidak pernah serius, kata Gus Mus, perokok berat yang sehari-hari menghabiskan dua setengah bungkus rokok.

Gus Mus, pada akhir tahun 1998, pernah memamerkan sebanyak 99 lukisan amplop, ditambah 10 lukisan bebas dan 15 kaligrafi, digelar di Gedung Pameran Seni Rupa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta. Kurator seni rupa, Jim Supangkat, menyebutkan, kekuatan ekspresi Mustofa Bisri terdapat pada garis grafis. Kesannya ritmik menuju zikir membuat lukisannya beda dengan kaligrafi. Sebagian besar kaligrafi yang ada terkesan tulisan yang diindah-indahkan, kata Jim Supangkat, memberi apresiasi kepada Gus Mus yang pernah beberapa kali melakukan pameran lukisan.

Sedangkan dengan puisi, Gus Mus mulai mengakrabinya saat belajar di Kairo, Mesir. Ketika itu Perhimpunan Pelajar Indonesia di Mesir membikin majalah. Salah satu pengasuh majalah adalah Gus Dur. Setiap kali ada halaman kosong, Mustofa Bisri diminta mengisi dengan puisi-puisi karyanya. Karena Gus Dur juga tahu Mustofa bisa melukis, maka, ia diminta bikin lukisan juga sehingga jadilah coret-coretan, atau kartun, atau apa saja, yang penting ada gambar pengisi halaman kosong. Sejak itu, Mustofa hanya menyimpan puisi karyanya di rak buku.

Namun adalah Gus Dur pula yang mengembalikan Gus Mus ke habitat perpuisian. Pada tahun 1987, ketika menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta, Gus Dur membuat acara Malam Palestina. Salah satu mata acara adalah pembacaan puisi karya para penyair Timur Tengah. Selain pembacaan puisi terjemahan, juga dilakukan pembacaan puisi aslinya. Mustofa, yang fasih berbahasa Arab dan Inggris, mendapat tugas membaca karya penyair Timur Tengah dalam bahasa aslinya. Sejak itulah Gus Mus mulai bergaul dengan para penyair.

Sejak Gus Mus tampil di Taman Ismail Marzuki, itu kepenyairannya mulai diperhitungkan di kancah perpuisian nasional. Undangan membaca puisi mengalir dari berbagai kota. Bahkan ia juga diundang ke Malaysia, Irak, Mesir, dan beberapa negara Arab lainnya untuk berdiskusi masalah kesenian dan membaca puisi. Berbagai negeri telah didatangi kyai yang ketika muda pernah punya keinginan aneh, yakni salaman dengan Menteri Agama dan menyampaikan salam dari orang-orang di kampungnya. Untuk maksud tersebut ia berkali-kali datang ke kantor sang menteri. Datang pertama kali, ditolak, kedua kali juga ditolak. Setelah satu bulan, ia diizinkan ketemu menteri walau hanya tiga menit.

Kyai bertubuh kurus berkacamata minus ini telah melahirkan ratusan sajak yang dihimpun dalam lima buku kumpulan puisi: Ohoi, Kumpulan Puisi Balsem (1988), Tadarus Antologi Puisi (1990), Pahlawan dan Tikus (1993), Rubaiyat Angin dan Rumput (1994), dan Wekwekwek (1995). Selain itu ia juga menulis prosa yang dihimpun dalam buku Nyamuk Yang Perkasa dan Awas Manusia (1990).

Tentang kepenyairan Gus Mus, Presiden Penyair Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri menilai, gaya pengucapan puisi Mustofa tidak berbunga-bunga, sajak-sajaknya tidak berupaya bercantik-cantik dalam gaya pengucapan. Tapi lewat kewajaran dan kesederhanaan berucap atau berbahasa, yang tumbuh dari ketidakinginan untuk mengada-ada. Bahasanya langsung, gamblang, tapi tidak menjadikan puisinya tawar atau klise. Sebagai penyair, ia bukan penjaga taman kata-kata. Ia penjaga dan pendamba kearifan, kata Sutardji.

Kerap memberi ceramah dan tampil di mimbar seminar adalah lumrah bagi Gus Mus. Yang menarik, pernah dalam sebuah ceramah, hadirin meminta sang kiai membacakan puisi. Suasana hening. Gus Mus lalu beraksi: Tuhan, kami sangat sibuk. Sudah.

Sebagai cendekiawan muslim, Gus Mus mengamalkan ilmu yang didapat dengan cara menulis beberapa buku keagamaan. Ia termasuk produktif menulis buku yang berbeda dengan buku para kyai di pesantren. Tahun 1979, ia bersama KH M. Sahal Mahfudz menerjemahkan buku ensiklopedia ijmak. Ia juga menyusun buku tasawuf berjudul Proses Kebahagiaan (1981). Selain itu, ia menyusun tiga buku tentang fikih yakni Pokok-Pokok Agama (1985), Saleh Ritual, Saleh Sosial (1990), dan Pesan Islam Sehari-hari (1992).

Ia lalu menerbitkan buku tentang humor dan esai, Doaku untuk Indonesia? dan Ha Ha Hi Hi Anak Indonesia. Buku yang berisi kumpulan humor sejak zaman Rasullah dan cerita-cerita lucu Indonesia. Menulis kolom di media massa sudah dimulainya sejak muda. Awalnya, hatinya panas jika tulisan kakaknya, Cholil Bisri, dimuat media koran lokal dan guntingan korannya ditempel di tembok. Ia pun tergerak untuk menulis. Jika dimuat, guntingan korannya ditempel menutupi guntingan tulisan sang kakak. Gus Mus juga rajin membuat catatan harian.

Seperti kebanyakan kyai lainnya, Mustofa banyak menghabiskan waktu untuk aktif berorganisasi, seperti di NU. Tahun 1970, sepulang belajar dari Mesir, ia menjadi salah satu pengurus NU Cabang Kabupaten Rembang. Kemudian, tahun 1977, ia menduduki jabatan Mustasyar, semacam Dewan Penasihat NU Wilayah Jawa Tengah. Pada Muktamar NU di Cipasung, Jawa Barat, tahun 1994, ia dipercaya menjadi Rais Syuriah PB NU.

Enggan Ketua PB NU
Kesederhanaannya telah memberi warna baru pada peta perjalanan kehidupan sosial dan politik para ulama. Ia didorong-dorong oleh Gus Dur dan kawan-kawan dari kelompok NU kultural, untuk mau mencalonkan diri sebagai calon ketua umum PB NU pada Muktamar NU ke-31 tahun 2004, di Boyolali, Jawa Tengah. Tujuannya, untuk menandingi dan menghentikan langkah maju KH Hasyim Muzadi dari kelompok NU struktural. Kawan karib Gus Dur selama belajar di Kairo, Mesir, ini dianggap salah satu ulama yang berpotensi menghentikan laju ketua umum lama. Namun Gus Mus justru bersikukuh menolak.

Alhasil, Hasyim Muzadi mantan calon wakil presiden berpasangan dengan calon presiden Megawati Soekarnoputri dari PDI Perjuangan, pada Pemilu Preisden 2004, itu terpilih kembali sebagai Ketua Dewan Tanfidziah berpasangan dengan KH Achmad Sahal Makhfud sebagai Rois Aam Dewan Syuriah PB NU. Muktamar berhasil meninggalkan catatan tersendiri bagi KH Achmad Mustofa Bisri, yakni ia berhasil menolak keinginan kuat Gus Dur, ulama kontroversial.

Ternyata langkah seperti itu bukan kali pertama dilakukannya. Jika tidak merasa cocok berada di suatu lembaga, dia dengan elegan menarik diri. Sebagai misal, kendati pernah tercatat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Tengah tahun 1987-1992, mewakili PPP, demikian pula pernah sebagai anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), mantan Rois Syuriah PB NU periode 1994-1999 dan 1999-2004 ini tidak pernah mau dicalonkan untuk menjabat kembali di kedua lembaga tersebut. Lalu, ketika NU ramai-ramai mendirikan partai PKB, ia tetap tak mau turun gelanggang politik apalagi terlibat aktif di dalamnya.

Demikian pula dalam Pemilu Legislatif 2004, meski namanya sudah ditetapkan sebagai calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Jawa Tengah, ia lalu memilih mengundurkan diri sebelum pemilihan itu sendiri digelar. Ia merasa dirinya bukan orang yang tepat untuk memasuki bidang pemerintahan. Ia merasa, dengan menjadi wakil rakyat, ternyata apa yang diberikannya tidak sebanding dengan yang diberikan oleh rakyat. Selama saya menjadi anggota DPRD, sering terjadi pertikaian di dalam batin saya, karena sebagai wakil rakyat, yang menerima lebih banyak dibandingkan dengan apa yang bisa saya berikan kepada rakyat Jawa Tengah, kata Mustofa mengenang pengalaman dan pertentangan batin yang dia alami selama menjadi politisi.

Dicalonkan menjadi ketua umum PB NU sudah seringkali dialami Gus Mus. Dalam beberapa kali mukhtamar, namanya selalu saja dicuatkan ke permukaan. Ia adalah langganan “calon ketua umum” dan bersamaan itu ia selalu pula menolak. Di Boyolali 2004 namanya digandang-gandang sebagai calon ketua umum. Bahkan dikabarkan para kyai sepuh telah meminta kesediaannya. Sampai-sampai utusan kyai sepuh menemui ibunya, Marafah Cholil, agar mengizinkan anaknya dicalonkan. Sang ibu malah hanya menjawab lugas khas warga ulama NU, Mustofa itu tak jadi Ketua Umum PB NU saja sudah tak pernah di rumah, apalagi kalau menjadi ketua umum. Nanti saya tak pernah ketemu.

Gus Mus sendiri yang tampak enggan dicalonkan, dengan tangkas menyebutkan, Saya mempunyai hak prerogatif untuk menolak, ucap pria bertutur kata lembut yang sesungguhnya berkawan karib dengan Gus Dur selama belajar di Kairo, Mesir. Saking karibnya, Gus Mus pernah meminta makan kepada Gus Dur selama berbulan-bulan sebab beasiswanya belum turun-turun. Persahabatan terus berlanjut sampai sekarang. Kalau Gus Dur melawat ke Jawa Timur dan singgah di Rembang, biasanya mampir ke rumah Gus Mus. Sebaliknya, bila dia berkunjung ke Jakarta, sebisa-bisanya bertandang ke rumah Gus Dur. Selain saling kunjung, mereka tak jarang pula berkomunikasi melalui telepon.***

Gp Anshar. red......

the leader


Zahir sedang berada di pasar Madinah ketika tiba-tiba seseorang memeluknya kuat-kuat dari belakang. Tentu saja Zahir terkejut dan berusaha melepaskan diri, katanya: "Lepaskan aku! Siapa ini?" Orang yang memeluknya tidak melepaskannya justru berteriak: "Siapa mau membeli budak saya ini?"
Begitu mendengar suaranya, Zahir pun sadar siapa orang yang mengejutkannya itu. Ia pun malah merapatkan punggungnya ke dada orang yang memeluknya, sebelum kemudian mencium tangannya.

Lalu katanya riang: "Lihatlah, ya Rasulullah, ternyata saya tidak laku dijual."

"Tidak, Zahir, di sisi Allah hargamu sangat tinggi;" sahut lelaki yang memeluk dan 'menawarkan' dirinya seolah budak itu
yang ternyata tidak lain adalah Rasulullah, Muhammad SAW.

Zahir Ibn Haram dari suku Asyja', adalah satu di antara sekian banyak orang dusun yang sering datang berkunjung ke Madinah, sowan menghadap Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Tentang Zahir ini, Rasulullah SAW pernah bersabda di hadapan sahabat-sahabatnya, "Zahir adalah orang-dusun kita dan kita adalah orang-orang-kota dia."
***
Nabi Muhammad SAW Anda anggap pemimpin apa saja, pemimpin formal kah; pemimpin non formal; pemimpin agama; pemimpin masyarakat; atau pemimpin Negara, Anda akan sulit membayangkannya bercanda di pasar dengan salah seorang rakyatnya seperti kisah yang saya tuturkan (berdasarkan beberapa kitab hadis dan kitab biografi para sahabat, Asad al-ghaabah- nya Ibn al-Atsier ) di atas. Tapi itulah pemimpin agung, Uswah hasanah kita Nabi Muhammad SAW.

Dari kisah di atas, Anda tentu bisa merasakan betapa bahagianya Zahir Ibn Haram. Seorang dusun, rakyat jelata, mendapat perlakuan yang begitu istimewa dari pemimpinnya. Lalu apakah kemudian Anda bisa mengukur kecintaan si rakyat itu kepada sang pemimpinnya? Bagaimana seandainya Anda seorang santri dan mendapat perlakuan demikian akrab dari kiai Anda? Atau Anda seorang anggota partai dan mendapat perlakuan demikian dari pimpinan partai Anda? Atau seandainya Anda rakyat biasa dan diperlakukan demikian oleh --tidak usah terlalu jauh: gubernur atau presiden-bupati Anda? Anda mungkin akan merasakan kebahagiaan yang tiada taranya; mungkin kebahagiaan bercampur bangga; dan pasti Anda akan semakin mencintai pemimpin Anda itu. Sekarang pengandainya dibalik: seandainya Anda kiai atau, pimpinan partai, atau bupati; apakah Anda 'sampai hati' bercanda dengan santri atau bawahan Anda seperti yang dilakukan oleh panutan agung Anda, Rasulullah SAW itu? Boleh jadi kesulitan utama yang dialami umumnya pemimpin, ialah mempertahankan kemanusiaanya dan pandangannya terhadap manusia yang lain. Biasanya, karena selalu dihormati sebagai pemimpin, orang pun menganggap ataukah dirinya tidak lagi sebagai manusia biasa, atau orang lain sebagai tidak begitu manusia.
***
Kharqaa', perempuan berkulit hitam itu entah dari mana asalnya. Orang hanya tahu bahwa ia seorang perempuan tua yang sehari-hari menyapu mesjid dan membuang sampah. Seperti galibnya tukang sapu, tak banyak orang yang memperhatikannya. Sampai suatu hari ketika Nabi Muhammad SAW tiba-tiba bertanya kepada para sahabatnya, "Aku kok sudah lama tidak melihat Kharqaa'; kemana gerangan perempuan itu?"

Seperti kaget beberapa sahabat menjawab: "Lho, Kharqaa' sudah sebulan yang lalu meninggal, ya Rasulullah." Boleh jadi para sahabat menganggap kematian Kharqaa' tidak begitu penting hingga perlu memberitahukannya ' kepada Rasulullah SAW. Tapi ternyata Rasulullah SAW dengan nada menyesali, bersabda: "Mengapa kalian tidak memberitahukannya kepadaku? Tunjukkan aku dimana dia dikuburkan?".

Orang-orang pun menunjukkan kuburnya dan sang pemimpin agung pun bersembahyang di atasnya, mendoakan perempuan tukang sapu itu.
***

Nabi Muhammad SAW Anda anggap pemimpin apa saja, pemimpin formal kah; pemimpin non formal; pemimpin agama; pemimpin masyarakat; atau pemimpin Negara, Anda pasti akan sulit membayangkan bagaimana pemimpin seagung beliau, masih memiliki perhatian yang begitu besar terhadap tukang sapu, seperti kisah nyata yang saya ceritakan (berdasarkan beberapa hadis sahih) di atas.

Tapi itulah pemimpin agung, Uswah hasanah kita Nabi Muhammad SAW. Urusan-urusan besar tidak mampu membuatnya kehilangan perhatian terhadap rakyatnya, yang paling jembel sekalipun.
***
Anas Ibn Malik yang sejak kecil mengabdikan diri sebagai pelayan Rasulullah SAW bercerita: "Lebih Sembilan tahun aku menjadi pelayan Rasulullah SAW dan selama itu, bila aku melakukan sesuatu, tidak pernah beliau bersabda, 'Mengapa kau lakukan itu?' Tidak pernah beliau mencelaku."

"Pernah, ketika aku masih kanak-kanak, diutus Rasulullah SAW untuk sesuatu urusan;" cerita Anas lagi, "Meski dalam hati aku berniat pergi melaksanakan perintah beliau, tapi aku berkata, 'Aku tidak akan pergi.' Aku keluar rumah hingga melewati anak-anak yang sedang bermain di pasar. Tiba-tiba Rasulullah SAW memegang tengkukku dari belakang dan bersabda sambil tertawa, 'Hai Anas kecil, kau akan pergi melaksanakan perintahku?' Aku pun buru-buru menjawab, 'Ya, ya, ya Rasulullah, saya pergi.'"

Nabi Muhammad SAW Anda anggap pemimpin apa saja, pemimpin formal kah; pemimpin non formal; pemimpin agama; pemimpin masyarakat; atau pemimpin Negara, dapatkah Anda membayangkan kasih sayangnya yang begitu besar terhadap abdi kecilnya? Tapi pasti Anda dapat dengan mudah membayangkan betapa besar kecintaan dan hormat si abdi kepada 'majikan'nya itu.

Waba'du; apakah saya sudah cukup bercerita tentang Nabi Muhammad SAW, sang pemimpin teladan yang luar biasa itu? Semoga Allah melimpahkan rahmat dan salamNya kepada beliau, kepada keluarga, para sahabat, dan kita semua umat beliau ini. Amin.

oleh
KH A. Mustafa Bisyri

Minggu, 09 Maret 2008

Sabtu, 08 Maret 2008





rasanya tak pantas kalau kita hidup didunia tanpa menjunjung tinggi cinta. cinta adalah suatu nilai dan tempat yang sangat tinggi dan mulia yang pernah diciptakan. seseorang takkan pernah sampai pada titik kesempurnaan kalau tanpa suatu cinta. life not life without love.........cinta adalah suatu proses kenal yang dilanjutkan dengan simpati dan sampailah pada titik empatik. cinta akan ada didalam raga setiap insan kemudian dengan kelembutannya dia mulai mengalir lembut dan bersemayam dalam jiwa. cinta hakiki adalah cinta yang menyeluruh vertikal dan horizontal. keduanya mempunyai ikatan bolak-balik yang tidak mungkin dapat dipisahkan. tidak akan pernah seseorang menemui cinta vertikal tanpa mencintai cinta horizontal. karena didalam cinta itulah terdapat kebenaran dan perasaan cinta. cinta kita kepada Dzat pencipta cinta yang maha tinggi hanya dapat kita peroleh dengan sempurna jika kita juga mencintai ciptaannya.



manusia adalah makhluk yang sangat mulia karena dipersenjatai dengan akal dan cinta dan didalam hatinyalah tempat allah berada. jika kita ingin bertemu allah sedangkan kita masih saja ribut dengan sesama makhluk allah maka janganlah pernah berharap bertemu allah. coba bayangkanlah jika kita mempunyai suatu barang yang sangat berharga bagi kita, lalu kita titipkan kepada seseorang, kemudian orang yang kita titipi malah merusak, apa yang akan kita lakukan? pasti marahlah yang pertama kita jumpai. begitu juga dengan allah.....allah pasti akan murka kepada kita. rasulullah SAW pernah berkata bahwa "khairunnasi yanfauhum linnassi" yang artinya sebaik-baik manusia adalah yang berguna bagi manusia lain. kalau kita tinjau dalam hadist ini, mengapa rasulullah saw yang kita cintai ini mengatakan "nnass" yang artinya manusia mengapa tidak muslim atau mu'min saja? itu semua mengandung pengertian bahwa kaum muslim wajib berdamai atau rukum atau bermanfaat bagi semua orang tak pandang agama dan lain sebagainya. larena kita sama-sama ciptaan allah semata.

sekarang marilah kita rangkul saudara kita semua sesama makhluk allah, kita jaga setiap yang bernyawa dan kita hormati. insya allah kita akan bahagia fissunya wal akhirat...amin.