Kamis, 13 Maret 2008

KH Bisyri Syansuri

KH Bisri Syansuri Guru Agama dan Ahli Fikih

Ditulis oleh PMII KOMFAKSYAHUM di/pada Mei 21, 2007

Keterlibatannya dalam upaya dinamisasi NU terlihat jelas dari upayanya mendorong dan menopang berdirinya rumah-rumah yatim piatu di berbagai tempat.

Perkembangan Nahdlatul Ulama (NU) hingga mampu menjadi organisasi massa terbesar di Tanah Air tentu tidak bisa dilepaskan dari faktor sejarah maupun sepak terjang tokoh-tokohnya dalam membesarkan organisasi ini. Terlebih adalah kiprah para pendiri awal yang tanpa mengenal lelah akhirnya berhasil meletakkan dasar-dasar pergerakan organisasi ke depan.

Di antara tokoh yang dianggap berjasa adalah KH Bisri Syansuri. Tercatat dia turut terlibat dalam pembentukan NU pada tahun 1926 dan sejak awal menjadi anggota pengurus, walaupun bukan jabatan paling penting.

KH Bisri dilahirkan di Desa Tayu, Pati, Jawa Tengah, tanggal 18 September 1886. Ayahnya bernama Syansuri sementara ibunya bernama Mariah. Dia adalah anak ketiga dari lima bersaudara. Keluarga ini amat kuat dalam menjalankan ibadah.

Pendidikan awal diperolehnya di beberapa pesantren lokal. Saat itu, ketika menginjak usia tujuh tahun, Bisri mulai belajar agama, khususnya membaca Alquran di bawah bimbingan KH.Saleh. Kegiatan ini dijalani selama lebih kurang dua tahun.

Setelah itu, Bisri melanjutkan pendidikan di pesantren asuhan seorang ulama yang tercatat masih keluarga dekatnya, yakni KH Abdul Salam. Pesantren itu terletak di desa Kajen, sekitar delapan kilometer dari Tayu. Di sana, dia mempelajari dasar-dasar tata bahasa Arab, fikih dan tafsir Alquran serta hadis.

KH Abdul Salam menerapkan pola kehidupan beragama yang keras aturan-aturannya dan berjalur tunggal moralitasnya. Sifat berpegang pada aturan agama secara tuntas di kemudian hari akan menjadi salah satu ciri kepribadian Bisri.

Dia berpindah pesantren lagi pada usia 15 tahun. Kali ini yang dituju adalah pesantren di Demangan, Bangkalan, asuhan KH Kholil, seorang ulama besar yang menjadi guru dari hampir semua kyai yang terpandang di seluruh Jawa waktu itu. Nah saat nyantri di Demangan itulah Bisri bertemu dengan seorang santri dari Jombang yang kemudian menjadi teman karibnya yakni Abdul Wahab Hasbullah.

Ketika itu amatlah kuat tradisi ’santri keliling’ menuntut ilmu di beberapa pesantren. Begitu pula yang dilakukan oleh Bisri serta Abdul Wahab Hasbullah. Setelah beberapa lama belajar dengan KH Kholil, keduanya memutuskan melanjutkan menuntut ilmu di tempat lain, yakni di Pesantren Tebuireng, Jombang, pimpinan KH Hasyim Asy’ari.

Hal itu terjadi tahun 1906. Mereka berdua begitu mengagumi reputasi ulama pimpinan ponpes tersebut. KH Hasyim Asy’ari disegani karena kedalaman ilmu-ilmu agamanya, dan karenanya mendapat gelar Hadratus Syaikh. Keputusan untuk pindah pendidikan ke pesantren Tebuireng ternyata penting artinya bagi Bisri Syansuri.

Bisri Syansuri berada di Tebuireng selama enam tahun. Sejak masa itu, makin bertambahlah kawan sependidikan yang akan menjunjung nama guru mereka. Di antaranta Abdul Manaf dari Kediri, As’ad dari Situbondo, Ahmad Baidhawi dari Banyumas, Abdul Karim dari Sedayu (Gresik), Nahrawi dari Malang, Abbas dari Jember, Ma’sum Ali dari pesantren Maskumambang di Sedayu dan banyak lagi.

Mereka lantas membentuk barisan peminat fikih dan penganut hukum agama yang tangguh, serta menjadi kiai-kiai pesantren terkemuka di pulau Jawa. Angkatan santri ini seperti dikatakan alm KH Syukri Ghazali adalah generasi paling baik dari mereka yang dididik Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari di pesantren Tebuireng selama hampir setengah abad.

Selama di Tebuireng, Bisri mendapat ijazah dari gurunya untuk mengajarkan kitab-kitab agama yang terkenal dalam literatur lama, dari teks fikih Al-Zubad (yang kemudian akan menjadi kegemarannya) hingga ke hadis yang menjadi spesialisasi KH Hasyim Asy’ari, Bukhari, dan Muslim.

Ketika itu sudah terlihat corak penguasaan ilmu-ilmu agama Bisri yang akan membuatnya terkenal di kemudian hari: pendalaman pokok-pokok pengambilan hukum agama dalam fikih, tanpa terlalu banyak variasi tambahan pengetahuan baru yang bermacam-macam.

Setelah menyelesaikan pendidikan di Tebuireng, tahun 1912-13 Bisri berangkat ke Makah, bersama Abdul Wahab Hasbullah. Keduanya kemudian belajar pada sejumlah ulama terkemuka di Tanah Suci, semisal Syekh Muhammad Baqir, Syekh Muhammad Sa’id Yamani, Syekh Ibrahim Madani, dan Syekh Jamal Maliki. Juga pada guru-guru dari ’sang guru’ Kiai Hasyim Asy’ari, seperti Kiai Ahmad Khatib Padang, Syu’aib Daghistani dan Kiai Mahfuz Termas.

Ketika berada di Mekkah, dia menikahi adik perempuan KH Wahab. Datangnya Perang Dunia I membuatnya harus meninggalkan Makah tahun 1914, lebih cepat dari perkiraannya semula.

Sepulangnya dari Tanah Suci, dia menetap di pesantren mertuanya di Tambak Beras, Jombang. Di sana, Bisri tinggal selama dua tahun, membantu mertuanya di bidang pendidikan dan pertanian. Periode itu tercatat merupakan masa terakhir persiapannya untuk menjadi kiai yang berdiri sendiri. Hingga pada 1917 dia mendirikan pesantren sendiri di Denanyar.

Bersama sejumlah kiai muda setempat, seperti KH Dahlan Kebondalem dan KH Ridwan, mereka membentuk klub kajian yang diberi nama Taswirul Afkar (konseptualisasi pemikiran). Dari sini kemudian lahirlah sebuah sekolah agama dengan nama yang sama, yaitu Madrasah Taswirul Afkar.

Hal lain yang berkembang adalah munculnya KH Bisri dan KH Abdul Wahab sebagai peserta aktif dalam musyawarah hukum agama yang berlangsung di lingkungan Nahdlatul Ulama.

Pada periode itu, terjadi dua perkembangan penting di NU, yaitu konsolidasi kegiatan organisasi dan perumusan sikap organisasi bagi masalah kemasyarakatan dalam lingkungan NU. KH Bisri terlibat aktif dalam proses konsolidasi kegiatan organisasi terbukti dari kiprahnya saat mengembangkan kegiatan lailatul ijtima’, sebuah forum keagamaan untuk mengingat jasa mereka yang telah berpulang ke rahmatullah.

Keterlibatan KH Bisri dalam upaya dinamisasi organisasi tampak jelas dari upayanya mendorong dan menopang berdirinya rumah-rumah yatim piatu di berbagai tempat, termasuk di Jombang sendiri. Juga dalam dukungannya kepada upaya pelayanan kesehatan yang dirintis di berbagai tempat.

Pada masa penjajahan Jepang, ulama ini terlibat dalam pertahanan negara, yakni menjadi Kepala Staf Markas Oelama Djawa Timur (MODT), yang berkedudukan di Waru dekat Surabaya. Kemudian pada periode kemerdekaan KH Bisri pun terlibat dalam lembaga pemerintahan.

Dimulai dengan keanggotaan dalam Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), mewakili unsur Masjumi (tempat Nahdlatul Ulama tergabung secara politis). Berlanjut dengan keanggotaan di Dewan Konstituante tahun 1956, hingga ke masa pemilihan umum tahun 1971. Saat itu dia terpilih menjadi anggota DPR hingga tahun 1980.

Pascaperistiwa G 30 S/PKI tahun 1965, KH Bisri kerap harus meninggalkan Jombang untuk turut dalam pengambilan keputusan di lingkungan NU mengenai masalah-masalah nasional. Setelah wafatnya KH Abdul Wahab tahun 1972, KH Bisri pun diangkat sebagai ra’is ‘am.

Ketika NU bergabung ke PPP, KH Bisri juga menjadi ketua Majelis Syuro partai ini. Pendirian prinsipil NU dalam sejumlah perbenturan dengan pemerintah selama tahun 1970-an biasanya dikaitkan dengan kepemimpinan KH Bisri. Ulama kharismatik ini meninggal dunia dalam usia lanjut tahun 1980.

Tidak ada komentar: